KISAH TELUK NAGA
Dahulu kala, tepatnya ribuan tahun yang lalu, hiduplah dua ekor ular adik dan kakak yang dipercaya sebagai penunggu Sungai Cisadane. Keduanya saling unggul-mengungguli dalam ilmu kesaktian. Adiknya bernama Gede, konon sebagai calon penguasa Gunung Gede. Sementara kakaknya yang bernama Naga, calon penguasa pesisir laut utara tanah Jawa Barat, tepatnya di kawasan pesisir pantai Teluk Naga, Kabupaten Tangerang.
Dua ular ini merupakan titisan Dewa Ananta (Ular) yang nantinya akan mendapatkan tugas kusus menjaga aliran sepanjang sungai Cisadane. Gede sebagai pengatur sumber mata air, sementara Naga sebagai pengatur pertemuan air darat dengan laut di muara. Selain itu, tugasnya mencegah air laut agar tidak masuk ke daratan.
Sebelum melaksanakan tugas berat itu, keduanya diminta membekali diri dengan ilmu kesaktian. Untuk mendapatkan kesaktian, mereka harus bertapa seorang diri terlebih dahulu selama 1.000 (seribu) tahun. Dewa Ananta meminta agar pertapaan itu dilaksanakan di kaki Gunung Gede, Bogor, Jawa Barat, lokasi calon kekuasaan adiknya, sebelum nanti harus berpisah menempati daerah kekuasaan masing-masing.
Pada suatu hari, setelah mereka menjalani pertapaan selama 100 tahun, keduanya ingin keluar sekedar berjemur sambil menikmatinya nyamannya panas sinar matahari, masuk ke dalam pori-pori sisik sebagaimana biasa dilakukan ular pada umumnya untuk mematikan kutu.
Namun, sebelum mereka kembali memasuki gua pertapaan, Naga ingin tahu kesaktian diri dan adiknya selama 100 tahun untuk mengukur perkembangan diri dan sekedar melemaskan otot yang rasanya kaku.
Konon, ketika mereka sedang ingin berlatih itu, di Gunung Gede yang semula langitnya cerah, tiba-tiba mendadak berubah menjadi gelap-gulita dan petir-petir bersambaran.
“Adikku, tunjukkan kesaktianmu, kakak ingin tahu..” tantang Naga sambil memberi motivasi.
Konon, magma di dalam perut Gurung Gede langsung meningkat aktifitasnya dan dalam sekejap ketika adiknya baru menarik nafas.
“Hentikan..!” pinta Naga seraya tidak dapat membayangkan jika aktifitas magma meningkat, akan banyak korban berjatuhan karena lahar Gunung Gede itu, akan mampu membumihanguskan apapun kehidupan yang ada di lereng gunung, bahkan daerah yang lebih jauh lagi juga akan terkena imbasnya.
Kondisi senada dilakukan kakaknya, atas permintaan adiknya, bergantian ia ingin menunjukkan kesaktian.
Ketika Naga baru menarik nafas, tiba-tiba adiknya juga meminta hal yang sama. Ia melarang kakaknya karena khawatir kehancuran akan terjadi ketika dia telah menunjukkan kekuatannya.
“Hentikan..!!” pinta Gede seraya juga tidak dapat membayangkan jika seluruh kehidupan sepanjang Sungai Cisadane harus musna karena terjangan banjir. Ketika Naga menarik nafas, sumber mata air di bawah kaki Gunung Gede itu tiba-tiba berubah mengeluarkan air beribu-ribu lipat dari jumlah biasanya.
Menyadari keunggulan masing, sejak saat itulah mereka tak lagi mau menggunakan ilmunya secara sembarangan.
Konon, ketika ada manusia yang berbuat iseng atau berbuat seenak hatinya di atas Gunung Gede, dan mengganggu persemedian Gede dan Naga, sekali dehem (batuk-batuk kecil) dapat terjadi longsor, dan pastinya manusia itu akan menjadi korban bencana alam. Kejadian itu, konon baru peringatan kecil dari ular keduanya.
Waktu terus berlalu, tak terasa sudah seribu tahun lamanya Naga dan Gede bersemedi. Kekuatan keduanya pun semakin mumpuni. Walaupun kadang kala Gede dibuat cemburu oleh Naga, karena dari ketenangan dan keilmuwan kakaknya, Gede mengakui lebih sakti.
Besok adalah hari ke-seribu tahun mereka bersama. Naga tampaknya harus meninggalkan adiknya. Kakaknya harus melaksanakan tugas dewata.
Disaat mereka keluar dari pertapaan, inilah waktu yang tepat untuk Naga mengatakan kepada adiknya salam perpisahan.
“Tumben, kakak banyak diam hari ini” sapa Gede saat melihat kakaknya yang tampak tidak seperti biasanya sambil menikmati panasnya matahari.
“Adikku, ada sesuatu yang ingin kakak sampaikan” celetuk naga berjingkat muka.
“Katakan saja Kakak, aku ini kan adikmu…” jawabnya kalem.
“Sebenarnya, hari ini aku ingin pergi. Ada sesuatu yang harus aku lakukan” Naga berasa berat berucap.
“Pergi kemana kakak, aku ikut..!!” pinta Gede.
“Tidak, adik harus tetap di sini” seperti takdir perintah Dewa Ananta, ia adalah calon penunggu Gunung Gede. Tentunya, jika dia mengalanggarnya, tentu dewata akan murka. Sementara Naga harus pergi ke muara Cidane tempatnya ditugaskan.
“Kakak, aku tidak dapat hidup tanpamu..!!” seraya sangat takut kehilangan sebab memang selama ini hanya kakaknyalah yang membimbing dan mengarahkannya. Gede sudah menganggapnya seperti orangtua sendiri.
“Sampai kapan lagi..??” tanyak balik Naga menyakinkan. Dia harus melaksanakan tugas dewata menjaga lautan sebelum ada murka.
“Tapi kak…!!”
“Sudahlah.. aku berangkat..!!” sambil memeluk Gede, Naga siang itu meninggalkan gunung.
“Kakak..” dia pun menangis dan bersedih selama beberapa hari.
Konon, saat Naga meninggalkan Gunung Gede, dia harus meluapkan Sungai Cisadane untuk mempermudah dan mempercepat tubuhnya menuju laut. Hal ini dikarenakan ukuran tumbuh selama seribu tahun bertapa ternyata sama besarnya dengan sungai itu. Konon, saat Naga melintas ini pula, menjadi catatan sejarah sebab menjadi banjir untuk yang pertama kalinya sepanjang cerita.
Setelah ratusan tahun mereka berpisah, suatu hari Gede ternyata merasa rindu tak tertahankan dengan kakaknya. Ia pun akhirnya meminta kepada Dewa Ananta untuk mengabulkan permintaannya.
“Dewa, aku sangat rindu kakakku” dia kebingungan apa yang harus dilakukan. Bahkan, saat berdoa sambil menangis ini, beberapa hari terjadi hujan lebat di daerah Gunung Gede. Sejumlah tebing konon juga banyak yang longsor.
“Pergilah..” dewa meminta satu syarat, perjalan ke laut harus malam hari, ketika mendengar ayam berkokok, dengan alasan apapun Gede wajib kembali. Pada waktu itu, Gede sangat senang, dan diapun bersiap-siap berangkat.
Pada waktu itu, tiba-tiba terjadi hal di luar dugaan. Kemampuan memperbesar dan memperkecil sumber mata air adalah kekuatan milik kakaknya, sementara dia tidak dapat melakukan. Hal ini jelas, memperlambat perjalannya menyisiri sungai. Meski ragu akan tiba dilokasi dengan tepat waktu, diapun tetap memaksakan diri.
“Aku harus tetap berangkat” seolah kakaknya menunggu juga merasakan hal yang sama. Dia pun akhirnya berangkat dengan menyisiri Sungai Cisadane.
“Kakak..!! bagaimana kabarmu..!!” tegur Gede.
“Aku sangat rindu padamu..!!” luap rindu Naga setelah
ratusan tahun tak bertemu. Keduanya pun saling bercengkrama meluapkan rindu ratusan tahun tak bertemu.
Konon, ketika dua ular ini saling bercengkrama di sebuah teluk di pantai itu, tiba-tiba seseorang meliki kemampuan keilmuwan gaib lebih tanpa sengaja memergoki saat keduanya sedang bercengkrama. Hal inilah yang menjadi cikal bakal daerah yang bernama Teluk Naga. Kini menjadi salah satu wilayah administratif kecamatan di Kabupaten Tangerang. Yakni teluk yang mempertemukan dua naga kakak dan adik.
Tak lama berselang, suara kokok ayam pun terdengar. Gede pun terpaksa harus meninggalkan kakaknya. Namun hal itu tak kunjung dia kerjakan.
“Kembalilah Gede, waktumu habis” tegur dewata.
“Tidak, aku masih rindu”
“Kembalilah..!!”
“Tidak…!!”
Konon, ketika Gede tak kunjung kembali pada waktu itu, sepanjang Sungai Cisadane mengalami banjir hebat. Dia tidak menyadari jika badannya yang panjang itu membujur di atas sungai. Padahal sungai itu memiliki ukuran sama dengan lebar tubuhnya. Secara tidak langsung, tubuhnya menghalangi air kiriman dari bogor menuju muara.
Menurut keyakinan masyarakat, konon banjir terhebat terjadi di wilayah Tangerang Selatan. Hal ini dikarenakan, ukuran perut terbesar ular itu, tepatnya di daerah tikungan sungai Desa Lengkong, Serpong, Kota Tangerang Selatan.
Konon ada yang mengatakan, jika asal usul Desa Lengkong itu berasal dari liukan sungai tersebut, dan di sinilah ular itu badannya menyumpal tepat dibagian yang paling besar.
Penduduk pun hingga kini, seperti di Serpong, Kademangan, Lengkong, Kranggan, menilai jika sepanjang Sungai Cisadane, empat desa inilah yang paling dalam diantara daerah lainnya.
Meski banjir tidak disukai penduduk, namun sebagian penduduk memaklumi, jika banjir sebab takdir ular itu beberapa ratus tahun harus menjenguk kakaknya sebenarnya menyusahkan karena menimbulkan kerusakan. Namun sebab banjir, lereng sungai yang sebelumnya rusak, longsor, tergerus, maupun ulah manusia menjadi baik lagi seperti semula. Hal ini dikarenakan banjir membawa lumpur, dan tanah-tanah yang rusak itu, dapat tertembel kembali.
***
Sumber :
Saduran isi Warga Serpong, Lengkong, Pegedangan, dan Teluknaga.
Tokoh sejarawan setempat.
0 comments:
Post a Comment